Minggu, 11 Mei 2008

GURU JUGA MANUSIA BIASA

Berbicara tentang kinerja dan kesejahteraan Guru sama halnya dengan memecahkan sebuah teka-teki : duluan mana, ayam ataukah telur ? Mengapa Guru tidak semangat dalam mengajar ? apakah mungkin Karena gajinya kecil ? Tuntutan menggebu dari para Guru agar pemerintah memperbaiki kesejahteraan mereka beberapa waktu yang lalu seolah ingin menunjukkan bahwa selama ini Guru tidak pernah memperoleh haknya. Sebaliknya berbagai pihak tahunya Guru harus mengajar dengan baik, profesional, sehingga peserta didik menjadi pandai, maju, dan berkembang, titik. Mereka selalu berkilah :" Katanya menjadi Guru itu sebuah panggilan..."- Lantas ? " Ya, artinya Guru ora elok bahkan saru kalau sampai berdemo hanya untuk memperiuangkan upah atau imbalan. Dimana letak nilai pengabdiannya ?", lanjut mereka.

Memang repot kalau sudah dihadapkan pada kata pengabdian. Tak boleh banyak tuntutan, setia, sukarela, tulus, dan ikhlas; pokoknya yang suci-suci lah.... Maka kemudian muncul kelakar untuk para pengabdi ini:" Upah mu besar di surga ". Lalu para Guru pun hanya bisa mengangguk-angguk, kendati dalam hati tetap bersungut-sungut sembari menggerutu : " Semua ini gara-gara Iwan Fals dengan Oemar Bakrie-nya ". Padahal bisa saja maksud diciptakannya lagu ini sebenarnya untuk menyentil.

Agar dapat bersikap adil, tidak ada salahnya kita coba cermati argumentasi kedua belah pihak, baik dari kalangan Guru dan pihak-pihak lain. Ketika Gaji Guru masih seperti sekarang, maka animo generasi muda untuk masuk ke lembaga pendidikan guru IKIP, FKIP ) pun menjadi kian mengecil. Mereka pun akhirnya masuk bukan karena niatan semula, melainkan karena (takut) tidak diterima di tempat lain. Artinya apa ? dari segi kualitas, mereka yang akhirnya menjadi Guru kurang memiliki nilai garansi. Sementara itu alotnya pemenuhan kesejahteraan kepada para Guru pun juga karena adanya unsur kekurangyakinan atau kekurangpercayaan terhadap kinerja yang bakal ditunjukkan. Apakah betul kalau gaji terus dinaikkan, kinerja Guru akan sekonyong-konyong membaik ?

Kedua argumentasi di atas sama-sama memiliki dasar yang kuat, namun masih ada sisi-sisi yang dapat saling diperdebatkan. Kalau para Guru berargumen bahwa dengan minimnya kesejahteraan, banyak generasi muda cerdas yang enggan menjadi Guru, berarti mereka memang tidak terpanggil, tidak punya jiwa pengabdian. Tetapi kalau kenyataannya yang (katakanlah) terpanggil menjadi Guru adalah mereka yang sebutlah warga "kelas dua", haruskah ini dibiarkan?

Lalu kalau ada pihak-pihak yang meragukan kinerja Guru seandainya toh kesejahteraan mereka ditingkatkan, tidak bisa kah sejenak melihat keseharian Guru yang tiap sore hingga malam masih harus memberi les ke sana ke mari, disamping ada juga yang terpaksa nyambi pekerjaan lain, karena tidak punya lahan les-lesan tadi. Tetapi keraguan tadi sebenarnya bercermin dari (misalnya) kinerja anggota Dewan yang meski bergaji kian membumbung toh dampak yang dapat dirasakan rakyat jauh dan harapan.

Kalau sekarang pemerintah coba untuk meretas kesan dikotomi tersebut dengan menyodorkan solusi baru berupa regulasi Guru yang berwujud Undang-Undang Guru dan Dosen ( disingkat UGD ), benarkah ? jangan-jangan itu hanya proyek baru pemerintah dengan objek para Guru. Kalau demikian UGD menjadi kependekan dan Unit Gawat Darurat bagi pendidikan dan Guru, dan menjadi simalakama bagi siapa saja. Bagi pemerintah yang sudah mengeluarkan dana besar tak beroleh apa-apa, bagi Guru sudah susah payah mengikuti amanah tetap dianggap tak bisa memperbaiki kualitas pembelajaran.

Taruhlah anggapan bahwa kinerja Guru masih memble itu benar, maka mari berdayakan Guru sebagai solusi prioritas. Harus diakui masih banyak Guru yang belum berkualifikasi dan berkompetensi, sehingga dapat dikatakan belum profesional di samping (jelas) belum sejahtera dan bermartabat. Wolmer dan Mills (1976) mengatakan bahwa pekerjaan Guru dapat dipandang sebagai profesi jika :

  • Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas berkaitan dengan pengetahuan umum dan khusus.
  • Merupakan karir yang dibina secara organisatoris dan memiliki keterikatan dengan organisasi, memiliki otonomi dan kode etik jabatan serta dilakukan seumur hidup
  • Memperoleh legitimasi dari masyarakat sebagai pekerjaan profesional karena mendapat dukungan, perlindungan hukum, dan jaminan hidup layak.

Tidak sedikit pula Guru yang belum terbiasa dengan teknologi komunikasi, akrab dengan ilmu, media massa, dan mengerti arti penting sejarah desain pembelajaran menyangkut metodik maupun materi pembelajaran. Mengapa demikian ? bisa jadi karena memang mereka belum mampu menjangkau dan masih menganggapnya sebagai barang mewah. Sungguh menyedihkan bukan ? Maka tidak ada salahnya kalau fasilitas pemberdayaan Guru yang sudah ada seperti Balai Pelatihan Guru ( BPG ), Sanggar Kegiatan Belajar ( SKB ), dan Musyawarah Guru Bidang Studi ( MGBS ) Kembali dimanfaatkan.

Dengan memprioritaskan pemberdayaan Guru, sama artinya ( sekali lagi) Guru dituntut untuk lebih dahulu memperlihatkan unjuk kerjanya. Tidak pelu berkeluh-kesah, karena di pundak mereka terletak tugas-tugas suci memanusiakan manusia. Dapat dicontoh dan dipercaya. Jika umat atau jemaat berebut mencium pastor atau pendetanya, maka akan hadir para Guru yang berkelas. Masalahnya, sanggup kah Guru-Guru sekarang melawan budaya kapitalis dan teologi perut yang semuanya diukur dengan materi dan uang.

Terlalu naif ? mungkin, tetapi kesemuanya semata-mata hanya untuk membentengi Guru dari pengaruh komersialisasi pendidikan yang kini kian menggejala. Sebab saya masih punya keyakinan bahwa tuntutan kesejahteraan dari para Guru sebenarnya sebatas mereka tidak perlu pontang-panting mencari tambahan penghasilan agar periuk nasi tetap terisi hingga akhir bulan. Dan yang perlu diingat, Guru bukan superman yang sanggup melakukan perubahan secara radikal. Guru tetap manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan. Guru bisa stress memikirkan tingkat ekonomi yang belum baik, murid-murid yang malas dan nakal, serta pusing memikirkan masyarakat yang belum memberikan apresiasi tinggi terhadap jabatan guru.